8/11/2011

Akhir sebuah masa

Saat ini, malam ini, di penghujung hari, dalam perih yang melambatkan gerak, lelah kubaringkan tubuhku diatas ranjang. Tidak ada yang ingin kulakukan, tangan, kaki, kepala, organ-organ dalam tubuh, dan indera ini enggan berfungsi. Pikiranku melayang, menerawang jauh kebelakang, dan kadang kedepan. Aku hanya ingin diam. Namun sesekali mulut ini terbuka, mengeluarkan karbondioksida, dan ketika teringat tengah bernafas, ketika itu pula aku lupa bagaimana aku bernafas sebelumnya. Semakin cepat kubernafas, seperti mereka yang memburu si kerdil yang berteriak lantang ketika yang lainnya tengah terlelap.

Sebelumnya, kudapati mereka diluar sana tengah tertidur, pulas, dan ada yang berpura-pura. Ada yang bangun, berdiri, tak lama tertidur lagi dengan keluguannya. Ada yang berbangga dengan predikat si raja tidur. Ada yang membunuh dirinya sendiri karena kontradiksi dalam dirinya untuk menjadi seperti yang lainnya. Ada yang berlari dan dilarikan. Ada yang mengusir dan diusir. Ada aku dan engkau.

Kegalauan ini hadir bukan tanpa alasan, begitu pula perih ini, maka begitu pula amarah ini. Perubahan-perubahan yang terjadi secara drastis dihadapanku inilah yang menyebabkannya. Semula aku hanya membayangkan ini semua akan terjadi secara perlahan, sehingga aku ikut terlelap, bersahabat dengan berhala-berhala mereka. Walaupun tidak ikut menyembahnya, namun secara tidak aku sadari –dan kini terlambat aku menyadarinya– justru ikut meng-ada-kannya.

Mereka, para pengkotbah, menelusuri setiap ruang perjalanan kehidupan individu, menciptakan kesadaran yang kemudian membuat individu tersebut berkata, “inilah pemikiranku”, “inilah pilihanku”, “inilah aku”, “inilah ideku”, merayakan pesta dengan busana eksploitasi. Mereka terlalu bangga dengan apa yang kini mereka lakukan, yang telah mereka lakukan, dan marah dengan apa yang segelintir orang tidak melakukan. Dan apa yang akan terjadi kemudian?

Kemarin kubaca sebuah media yang mewawancarai seorang koorporat yang menyalahkan para pembuat berhala. Justru malah mengajak mahluk asing ikut berbaur bersama mereka yang terlelap. Oh, celaka! Ada apa dengan keadaan saat ini. Mereka para pembuat berhala, para koorporat, para manusia yang terlelap, dan aku, dan engkau, ada apa dengan semua ini? Dan mereka para pembuat mereka yang terlelap semakin menikmati tidurnya dengan mimpi-mimpi indah sibuk merevisi peraturan yang ingin membuat kebebasan memproduksi mimpi menjadi semakin indah melulu mengedepankan hal berbau komunis.

Siang tadi, kesal menggerogoti kesabaranku, betapa tidak, hampir tiga puluh menit dengan suhu udara diperkirakan mencapai dua puluh tujuh derajat celcius aku berada dalam angkutan umum yang berhenti menunggu penumpang diperempatan. Sedangkan angkutan umum lainnya saling berlomba seakan di arena balap memburu mereka yang membutuhkan jasanya. Dan mereka para calo sibuk meminta jatah preman, dan para polisi yang menilang angkutan umum yang kutumpangi, setelah itu baru kendaraan itu berjalan maju. Panas, namun kemarin hujan, disana batu es turun dari langit, disini banjir, disana hutan terbakar, disini segelintir orang sibuk berkampanye, disana orang menghabiskan uang, disini segelintir orang berteriak revolusi, disini dan disana, salah dan benar.

Sore tadi aku bergelut dengan angka, angka-angka yang begitu banyak, dan grafik yang naik dan turun. Sore tadi pula aku begitu sebalnya dengan represif dan intimidasi. Disini, di kota ini, begitu banyak mobil mewah milik segelintir orang, begitu banyak angka-angka dalam nilai rupiah, namun ironisnya, mereka yang menyembah berhala justru terdiam dan terlelap saat nabi-nabi yang mereka agung-agungkan tidaklah memberikan balasan atas jari tengah yang mereka korbankan. Sungguh apa yang sebenarnya tengah terjadi…

Ada teman yang berkata, ‘mengapa hanya meminta roti, kenapa tidak meminta pabrik roti, mengapa tidak meminta hal yang tidak mungkin?’. Selalu saja ada ruang-ruang ketidakmungkinan, namun saat semua itu menjadi mungkin, justru menepiknya. “Pemilikan atas alat-alat kerja-bahan mentah, pabrik-pabrik, mesin-mesin-oleh rakyat pekerja sendiri”. Mungkin itu hal yang lebih mungkin…

Mulut ini ingin mengucap kata…

Mulut ini ingin mengucap beberapa kata, aku ingin bernyanyi, menari, menikmati kegundahan ini, menyelaminya, hingga lelah hati ini, dan terlelap, berharap datang seorang sahabat yang menjadi jurang pemisah kesendirianku, lalu kami menari di antara mereka yang terlelap.

Dan tak lama kemudian, aku pun tertidur bersama mereka. Hingga tak ada lagi alasan untuk tetap terjaga dengan mata terbuka, walau kadang tersadar dan terbangun, saat itu pula virus yang terus menggerogoti tubuh dan jiwaku memaksa untuk kembali terlelap.

8/05/2011

Menuju Kota Fantasi

Oh..indahnya kota ini, begitu terang dikala malam, begitu ramai dikala siang. Di sudut-sudut kota begitu ramai mereka yang terlelap beralaskan kardus dikala malam. Di tengah-tengah kota, di pusat keramaian, di jalan-jalan utama, begitu ramai mereka yang hilir-mudik dengan beraneka macam busana, beraneka ragam kendaraan, beraneka ragam wajah, beraneka ragam keseragaman. Disana, masih dibawah ketinggian gedung-gedung, terlihat gambar-gambar menarik, dengan model-model manusia berparas menarik, berkomunikasi dengan masyarakat. Kata-kata indah dirangkai sedemikian rupa, mengajak masyarakat menuju dunia yang mapan, membangkitkan hasrat yang sekarang ini gencar diburu setelah lama hanya memburu pada tataran produksi.

Oh..besarnya papan-papan dan spanduk-spanduk kain yang menjadikan kota ini begitu indah. Bila gelap datang, sorot lampu terpusat meneranginya. Sedangkan tidak banyak yang lokasinya tegak berdiri diantara minimnya terang yang menerangi tempat tinggal penduduk, bahkan sengaja di gelapkan karena anjuran birokrat yang berbicara mengenai penghematan. Dan berlomba mengeksplorasi tempat strategis dimana setiap langkah dan diam tidak luput dari penglihatan.

Oh..menariknya para bidadari dan pangeran yang terpampang dari hasil proses seleksi. Putih, cokelat, hitam, biru, merah, kuning, hijau, ungu, dan banyak warna lainnya. Putih untuk menggambarkan putih, emas untuk menggambarkan emas, hitam untuk menggambarkan hitam, hijau untuk menggambarkan hijau, kuning untuk menggambarkan hijau. Pose-pose menarik dari berbagai sudut pengambilan gambar, berdiri, duduk, tersenyum, mengajak menjadi sepertinya.

Oh..indahnya setiap rangkaian kata dengan ukuran-ukurannya yang besar dan cantik. Berbicara, mengajak berkomunikasi, menginformasikan, dan yang menjadi lawan bicaranya menuju tempat berbeda untuk melanjutkan komunikasinya. Dan tak lama terjadi pembicaraan indah diselingi akumulatif nilai. Disana, masih disitu, ada angka-angka dalam format rupiah, bahkan barang-barang komoditi yang dijanjikan gratis kepada mereka yang setia berinteraksi. Interaksi dalam pasar, pembeli dan penjual. Gratis segratis nota yang diberikan setelah melakukan transaksi tunai.

Dulu, semasa aku masih berada di bangku sekolah, temanku adalah seorang yang aktif dalam kepengurusan osis, khususnya sebagai pengurus mading. Cukup banyak dalam satu minggu dia mendapatkan kertas-kertas penuh tulisan maupun gambar. Di hari terakhir sekolah dalam satu minggu, dia selalu sibuk memilah apa yang akan dia tempelkan di mading sekolah. Tentunya apa yang hendak ditempelkan harus memiliki tujuan, tujuan yang sudah ditentukan, penuh dengan pesan moral, pengetahuan positif, dan jauh dari pembangkangan. Dan tentu saja semua telah diatur dalam sistem yang telah mapan dan mengatur agar sistem tersebut selalu mapan.

7/15/2011

Bianglala; renungan personal

Aku berjalan mengelilingi taman.
Langit kembali terang.
Aku masih disana. Melakukan hal yang sama.
Langit kembali gelap.

Lampu-lampu taman bernyanyi..
“everything will flow”

Pagi menjelang. Matahari kembali bersinar.
Langkahku mulai sedikit melemah.
Disini, ditempatku memulainya.

Ahh, aku tidak sendiri.
Mereka melakukan hal yang sama.
Seorang pria berkulit cokelat bahkan sambil memanggul sebuah batu besar.
Tapi langkahnya ringan.
Kakinya menari-nari di udara.

Lihat..aku tidak sendiri..
Perempuan cantik itu pun sama saja.
Wajahnya lesu, ada bekas air mata yang mengering di pipinya.
“aku lelah” teriaknya..

Anak muda di depanku mengeluh.
“Kenapa?” Tanyanya.
Tiada yang menjawab.
Bahkan semua seakan tidak mendengar.
Mungkin Tuhan pun tidak.

Tiada yang membuat kami berhenti.
Tiada satu kondisipun yang membuatnya.
Semua seakan seperti ini.
Seperti bumi yang berputar.
Seperti planet yang berporos pada matahari.
Seperti apa yang aku lakukan saat ini. Kemarin dan esok.

7/12/2011

Suatu Masa Diantara Berjuta Cerita

Langit berwarna merah, burung-burung berenang mengejar helicopter yang sedang berlayar di samudera hindia. Matahari berwarna hijau, hijau yang berpijar-pijar. Anak kecil itu tidak menghiraukan peringatan ayahnya untuk tidak terbang mendekati matahari. Dia melayang-layang, menyelinap diantara hiu bermata tajam yang siap menikam gajah yang tengah berlari mengejar segerombolan kuda. Manusia bergerumul di tengah pasar, menjilati lalat-lalat hijau yang hinggap diatas bangkai tikus, mereka telanjang! Kita hidup dalam dunia tanpa baju…salah seorang manusia dengan rantai dilehernya menari-nari mengikuti irama gendang. Sepasang kekasih berciuman di sisi jalan, dan pasangan lainnya bercinta di sisi jalan lainnya, desahannya terbawa oleh angin, bergabung dengan desahan pasangan lainnya, dan terdengar merdu.

Terdengar teriakan dari salah seorang renta, lalu hilang seketika, dan seekor harimau berjalan di depanku, mulutnya penuh dengan darah, dan seekor serigala segera berlari kearah teriakan si renta tadi, lalu berjalan santai di depanku, dengan mulut penuh darah pula. Tiada yang peduli, hingga menyisakan tulang si renta, dan beberapa orang mendatangi, mengumpulkan sisa tulang-tulangnya, lalu menguburkannya, setelah tidak lagi dijumpai lalat-lalat hijau yang mengerubungi. Si peminum anggur berbaring di depan teras rumahnya, tersenyum dan menyapa orang yang melewatinya. Si pemburu, membawa hasil buruannya, dan meletakkan hasil buruannya di tengah pasar, lalu pulang dengan membawa satu buah kaki babi hasil buruannya tadi.

Seorang anak kecil terjatuh dari balik awan, lalu mati, ayahnya yang tadi memperingati untuk tidak terbang mendekati matahari menghampiri jasad anak satu-satunya. Menguburkannya, dan bilatung-bilatung berwarna biru keluar dari sela-sela tanah, menghampiri dan menyantap jasad anak kecil tersebut.

Seekor singa mendekati ayah si anak kecil, lalu bertanya, “kenapa kau tidak memberikan jasad anak semata wayangmu kepadaku, aku dan beberapa temanku lapar?”

“maaf, mungkin saat ini giliran para bilatung berkulit biru untuk mendapatkan makanannya, dan bukan karena aku tidak tega melihat jasad anakku dikoyak-koyak oleh gigi runcingmu.”

Singa itu memahami maksud dari perkataan ayah si anak kecil, lalu kembali bertanya, “apakah kamu tidak menyesali, bersedih, menyalahkan, atas apa yang menimpa anak kesayanganmu?”

Dengan tersenyum dia menjawab, “tidak”

Lalu singa itu kembali berkata, “aku lapar, dan aku hanya mendapati kau disini.”

Diatas rerumputan berwarna pink, dia menjawab dengan sedikit menyiapkan langkahnya,“silahkan, kita sama-sama membutuhkan makan.”




6/24/2011

The Unbearable Lightness of Being

"ketiadaan beban sama sekali, membuat keberadaan manusia menjadi ringan seperti udara, yang terbang, menjauhi bumi, ke eksistensi terestrial, setengah nyata dengan segala gerakan yang bebas dan remeh" (the unbearable lightness of being - milan kundera)