Saat ini, malam ini, di penghujung hari, dalam perih yang melambatkan gerak, lelah kubaringkan tubuhku diatas ranjang. Tidak ada yang ingin kulakukan, tangan, kaki, kepala, organ-organ dalam tubuh, dan indera ini enggan berfungsi. Pikiranku melayang, menerawang jauh kebelakang, dan kadang kedepan. Aku hanya ingin diam. Namun sesekali mulut ini terbuka, mengeluarkan karbondioksida, dan ketika teringat tengah bernafas, ketika itu pula aku lupa bagaimana aku bernafas sebelumnya. Semakin cepat kubernafas, seperti mereka yang memburu si kerdil yang berteriak lantang ketika yang lainnya tengah terlelap.
Sebelumnya, kudapati mereka diluar
Kegalauan ini hadir bukan tanpa alasan, begitu pula perih ini, maka begitu pula amarah ini. Perubahan-perubahan yang terjadi secara drastis dihadapanku inilah yang menyebabkannya. Semula aku hanya membayangkan ini semua akan terjadi secara perlahan, sehingga aku ikut terlelap, bersahabat dengan berhala-berhala mereka. Walaupun tidak ikut menyembahnya, namun secara tidak aku sadari –dan kini terlambat aku menyadarinya– justru ikut meng-ada-kannya.
Mereka, para pengkotbah, menelusuri setiap ruang perjalanan kehidupan individu, menciptakan kesadaran yang kemudian membuat individu tersebut berkata, “inilah pemikiranku”, “inilah pilihanku”, “inilah aku”, “inilah ideku”, merayakan pesta dengan busana eksploitasi. Mereka terlalu bangga dengan apa yang kini mereka lakukan, yang telah mereka lakukan, dan marah dengan apa yang segelintir orang tidak melakukan. Dan apa yang akan terjadi kemudian?
Kemarin kubaca sebuah media yang mewawancarai seorang koorporat yang menyalahkan para pembuat berhala. Justru malah mengajak mahluk asing ikut berbaur bersama mereka yang terlelap. Oh, celaka!
Siang tadi, kesal menggerogoti kesabaranku, betapa tidak, hampir tiga puluh menit dengan suhu udara diperkirakan mencapai dua puluh tujuh derajat celcius aku berada dalam angkutan umum yang berhenti menunggu penumpang diperempatan. Sedangkan angkutan umum lainnya saling berlomba seakan di arena balap memburu mereka yang membutuhkan jasanya. Dan mereka para calo sibuk meminta jatah preman, dan para polisi yang menilang angkutan umum yang kutumpangi, setelah itu baru kendaraan itu berjalan maju. Panas, namun kemarin hujan, disana batu es turun dari langit, disini banjir, disana hutan terbakar, disini segelintir orang sibuk berkampanye, disana orang menghabiskan uang, disini segelintir orang berteriak revolusi, disini dan disana, salah dan benar.
Sore tadi aku bergelut dengan angka, angka-angka yang begitu banyak, dan grafik yang naik dan turun. Sore tadi pula aku begitu sebalnya dengan represif dan intimidasi. Disini, di kota ini, begitu banyak mobil mewah milik segelintir orang, begitu banyak angka-angka dalam nilai rupiah, namun ironisnya, mereka yang menyembah berhala justru terdiam dan terlelap saat nabi-nabi yang mereka agung-agungkan tidaklah memberikan balasan atas jari tengah yang mereka korbankan. Sungguh apa yang sebenarnya tengah terjadi…
Ada teman yang berkata, ‘mengapa hanya meminta roti, kenapa tidak meminta pabrik roti, mengapa tidak meminta hal yang tidak mungkin?’. Selalu saja ada ruang-ruang ketidakmungkinan, namun saat semua itu menjadi mungkin, justru menepiknya. “Pemilikan atas alat-alat kerja-bahan mentah, pabrik-pabrik, mesin-mesin-oleh rakyat pekerja sendiri”. Mungkin itu hal yang lebih mungkin…
Mulut ini ingin mengucap kata…
Mulut ini ingin mengucap beberapa kata, aku ingin bernyanyi, menari, menikmati kegundahan ini, menyelaminya, hingga lelah hati ini, dan terlelap, berharap datang seorang sahabat yang menjadi jurang pemisah kesendirianku, lalu kami menari di antara mereka yang terlelap.
Dan tak lama kemudian, aku pun tertidur bersama mereka. Hingga tak ada lagi alasan untuk tetap terjaga dengan mata terbuka, walau kadang tersadar dan terbangun, saat itu pula virus yang terus menggerogoti tubuh dan jiwaku memaksa untuk kembali terlelap.